Sunday, April 26, 2009

Math

Sedari kecil saya selalu ditanamkan bahwa matematika adalah ilmu pasti. Matematika itu jawabannya cuma satu. Berbeda dengan bidang lain, misalnya sosial, dimana berbagai solusi dapat diperdebatkan. Saya tidak pernah memperdebatkan hal ini namun seiring pelajaran matematika yang saya dapatkan di sekolah dari TK-SMA saya dapat menyadarinya kebenaran akan istilah 'ilmu pasti' tersebut.

Memang hasil dari suatu soal atau pertanyaan tidak selalu satu dan unik. Ambil contoh,
---> x^2-4 = 0 ,menghasilkan x=2 atau x=-2. Hasilnya, nilai dari x adalah salah satu diantara 2 bilangan tersebut dan bilangan mana pun yang dimasukkan jke dalam pesamaan jawabannya akan selalu benar, namun Anda tidak dapat memasukkan kedua2nya sekaligus bukan? Kira-kira begitulah yang disebut ilmu pasti, dimana dalam kasus ini, salah satu dari keduanya.
---> x = 0/0 , menghasilkan x adalah bilangan tak tentu. Nilai dari x dapat digantikan dengan bilangan apa pun, sekalipun bilangan itu 0 atau tak hingga. Nilai dari x dapat bervariasi tapi hasil dari persamaan tersebut adalah: x bilangan tak tentu. Beberapa orang menyebut istilah ini untuk mendukung keberadaan seni dari matematika. Ya terkadang matematika memang dapat membuat kita berdecak kagum.

Sayangnya, setidaknya dari pemikiran pribadi saya, bila tidak berhati-hati, ini akan menjadi bumerang bagi matematika itu sendiri. Dari usia yang sangat dini seorang anak diajarkan kebenaran dari suatu soal dalam matematika. Bahkan seringkali, hanya kebenaran itu, ya, hanya benar atau tidaknya. Sebenarnya saya merasa dibujuk untuk kembali berpikir oleh tayangan di salah satu stasiun televisi swasta yang diadoptasi dari reality show Amerika. Saya mengatakan 'kembali berpikir', karena saya memang pernah memikirkannya saat SD, dan tidak mendapatkan jawabannya hanya mengganggap hal ini sangat sepele.

3x4 adalah 3+3+3+3 atau 4+4+4?
sebagian orang dengan cepat menjawab salah satu diantaranya. Apa pun jawaban yg benar, saya masih meragukan kebenaran tersebut.

Saya bertanya balik, atau katakanlah, bertanya kepada diri sendiri, 3x4 itu 3 kali 4 atau 3 dikali 4? Apakah A kali B berarti ada B sebanyak A kali, dan A dikalikan B berarti A dikalikan sebanyak B kali? Ataukah ada persepsi yang lebih baik (dan benar)? Bagaimana dengan A-B, apakah 'A kurang B' dan 'A dikurang B' itu sebenarnya sama?

Jika saya bertanya kepada orang-orang saya yakin sebagian dari mereka tidak akan menghiraukan saya, 'Penting gak sih?', 'Toh jawabannya juga sama!', 'Itu kan cuma masalah bahasa, verbal atau tertulis!'. Ya, karena pertanyaan ini tidak penting, dan memang tidak penting, saya pribadi tidak mengetahui jawabannya dan toh bisa lulus sampai SMA dengan nilai matematika yang tidak pas-pasan, namun salah kaprah terkadang bisa fatal.

Dari hal-hal yang luar biasa sepele ini orang menghiraukan pemahaman dari matematika itu sendiri. Kembali ke 'keindahan' matematika tadi, matematika itu ilmu pasti. Ya, jawabannya pasti, namun apakah matematika cuma terletak kepada jawabannya? Hal sepele dan tidak penting tadi timbul dalam diri kita sebagai suatu mindset dalam belajar matematika bahwa hasilnya harus benar, dan terkadang beberapa orang menilai, 'yang penting jawabannya benar'.

Terkadang bila disuruh mengecek kembali jawaban teman Anda, yang Anda lihat pertama kali hanya jawabannya. 'Kalau jawabannya bener, ya seharusnya semuanya bener'. Menurut saya dalam matematika, terlalu banyak hal yang dianggap sepele.

Di minggu2 terakhir SMA saya pernah berdebat dengan guru matematika saya. Saya tidak begitu mengingat angkanya tapi kurang lebih seperti yang digambarkan oleh fungsi y^2=x. Beliau membedakan y^2=x dan y=akar dari x. Saya langsung menyanggah bahwa seharusnya kedua fungsi tersebut sama dan ironisnya beberapa murid juga berpendapat demikian. Kembali ke kasus yang sangat sepele tadi, 'Toh jawabannya sama'. Namun sayangnya dalam kasus antara 2 fungsi tadi, bisa jadi jawabannya tidak sama.

Mungkin bagi yang masih kuliah dan masih fresh akan matematika bisa mengingat kesalahan dasar (dan kita selalu tau untuk menghindari hal ini) dimana f(x)/g(x) > 0, Anda diminta untuk mencari nilai x, dan kalikan kedua ruas kanan&kiri dengan g(x) adalah kesalahan yang sangat fatal. Saya pernah melakukan hal tersebut sewaktu SMP dan terkejut mengetahui ini salah. 'Koq salah, toh sama aja'. Sayangnya dalam kasus ini, jawabannya justru salah.

Saya yakin kesalahan ini tidak akan menjadi kesalahan umum seperti sekarang bila yang sepele-sepele tadi tidak dibuat sepele. Bukannya sok membesar-besarkan masalah, tapi semua sisi harus dipahami. Tidak ada istilah, 'Ah, itu kan cuma masalah pengucapan kali-dikali doank!' karena tidak ada batasan-batasan dalam matematika. Berbeda dengan ilmu lainnya dimana satu masalah bisa dibawa ngelantur ke hal-hal yang sangat sinkron. Dalam matematika semua sub-ilmu bisa dihubungkan secara langsung ke sub-ilmu lain, karena alasan tadi, matematika adalah ilmu pasti. Dibawa kemana pun tidak akan berubah. Jadi bukan hanya benar atau tidaknya jawaban dari suatu soal. Matematika itu ada prosesnya, tapi seringkali jalan/cara menuju jawaban biasanya dijadikan guru-guru sebagai 'bukti' bahwa mereka tidak menyontek. Saya terkadang ragu apakah semua guru melihat baris per baris cara2 tersebut.

Mungkin tidak perlu jauh-jauh membahas soal SMA yang rumit. Di universitas sekarang saja, saya hanya diberikan rumus oleh dosen. Proses menuju rumus tersebut adalah optional tergantung kesadaran si mahasiswa. Beberapa orang menilai bahwa mahasiswa memang harus dengan kesadaran tinggi mempelajari sendiri proses tersebut, namun saya sangsi bahwa si dosen melihat hal yang sama. Lagipula kenyataannya banyak mahasiswa hanya menghafalkan. Implikasi dari 'ke-ilmu-pasti-an' ini, terkadang saya menyimpulkan cara dan pemahaman berdasarkan jawaban yang diberikan. Saya tau ini memang sangat Gila.

Hal kedua dan terakhir yang ingin saya sampaikan mengenai matematika, jangan menggeneralisasikan matematika sebagai aplikasi dalam semua yang ada di hidup ini. Matematika bisa digunakan di berbagai aplikasi, tapi tidak semuanya. Matematika dengan sederhana menyatakan 1+1=2. Lantas mengapa di dalam ilmu fisika 1+1=1.999, atau repot-repot 2.001, atau lain sebagainya? Karena secara realistis, Anda akan kesulitan mendapatkan pengukuran tepat 2 centimeter. Katakanlah 1 jeruk + 1 jeruk = 2 jeruk. Itu adalah hal yang disampaikan oleh matematika secara sederhana. Namun di dalam realita, pedagang menjual jeruk berdasarkan beratnya, bukan kuantiti.

Yang saya maksud dengan jangan menggeneralisasikan matematika dalam segala hal kehidupan, adalah bahwa ada pengukuran-pengukuran tersendiri di dalam matematika itu. Tidak sesederhana matematika dimana 1+1=2, di dalam kenyataan masing2 angka 1 itu memiliki pengukuran tersendiri, 1 bisa jadi 0.9997, atau 1.002. Tidak semua hal bisa dijadikan sebuah persamaan, melainkan pertidaksamaan, dengan selisih yang kecil tentunya.

Mungkin dunia ini akan menjadi lebih baik bila orang tidak me-matematika-kan sesuatu dengan gampangnya. 'Saya sudah bermain 1 jam, sekarang saya mau belajar pula selama 1 jam'. Di lain sisi orang lain bermain selama satu setengah jam dan belajar hanya setengah jam, dan hasil nya ternyata sama. Anda pernah merasakan hal seperti ini? Tentunya karena ada pengukuran tersendiri di dalam setengah jam tersebut. Setengah jam bagi satu orang bisa jadi 2 jam bagi Anda? 'Saya mendapat nilai 100 dan dia 50.', atau 'Saya mendapatkan hasil pemungutan suara sebanyak 2 kali lipat hasil dia.' Apakah berarti Anda lebih baik 2 kali lipat dibanding orang lain?

Di dalam perusahaan, semakin lama jam lembur seorang karyawan maka gajinya akan semakin bertambah. Namun hal yang dia kerjakan selama 10 jam bernilai 2 jam, karena dia kelelahan, atau karena dia sibuk dengan urusan yang lain-lain. Bisa dilihat, sebagian besar atasan lebih memilih gaji per hari dibanding gaji per bulan. Bukan karena takut si karyawan bolos dan lantas mereka untung sehari, tapi si atasan mengharapkan gaji per hari ini lebih sesuai dengan pengukuran hasil mereka yang sebenarnya, bahkan beberapa bisnis memberi upah berdasarkan hasil yang diperoleh. Mereka tidak mau melihat matematika bahwa karyawan bekerja 8 jam dan lantas menggaji selama 8 jam namun yang mereka hasilkan kurang lebih hanya 4 jam, misalnya.

Saya tidak mengatakan bahwa matematika itu tidak realistis. Matematika bukanlah ilmu yang dapat mengukur kerealistisan suatu permasalahan. Namun matematika dapat membantu Anda dalam hal tersebut. Sayangnya bila hanya matematika saja yang Anda gunakan di otak Anda, maka Anda tidak lagi realistis.

2 comments:

DELLI said...

nah kl math baru aku comment...
3x4 kl menurut aku 4+4+4...
nah kl yg debat itu den yeh
emang dasaran kau yg oon den :p
masuk math la biar dikasi proof sedetail mungkin
kl pake java emang galak koma" den, dpp jgn dipaksoke hahaha
tp walau bagaimanapun math tetep paling oke
hidup math
yow~

~'FeN'~ said...

wow den
speechless saya

nice info!