Saturday, April 18, 2009

Interview with Anggun

An old interview with Anggun. Just somehow inspirational for me about nationalism, but in some points I say, she over generalized Eastern and Western ;D

Unfortunately I can't get any valid source from this blog.
credit: source link


Ini versi yang belum diedit, untuk rubrik 20Q edisi Nopember kemarin. Wawancara dengan Anggun dilakukan di kantor Universal Music Indonesia, Senin [10/7]. Selama 45 menit lewat sambungan telepon internasional.

Video klip “Saviour” dilarang diputar di indonesia, bagaimana perasaan Anda?
Anehnya dilarang di Indonesia, tapi tetap saja dimainkan, waktu aku datang ke Indonesia untuk promo konser, setiap kali datang ke acara tv, video itu diputar. [tertawa]. Jadi sebenarnya, itu dilarang apa tidak? Maksudnya, officially itu dilarang. Tapi sebenarnya bisa diputar.

Padahal, penampilan Anda di video itu tidak vulgar.
Yang aku sebelnya di Indonesia, kalau kita menggunakan kata-kata seperti seksi, sensual. Kita kan tidak terbiasa dengan kata-kata itu. Jadi mereka kebanyakan suka salah kaprah. Aku pernah ditulis di salah satu Koran, sebelum konser yang di JHCC kemaren. Ditulisnya, ‘Anggun berjanji akan tampil vulgar.’ Sebenarnya arti vulgar untuk orang Indonesia itu apa? Sayangnya para wartawan Indonesia itu nggak ikut sekolah jurnalistik. Nggak ikut sekolah sastra untuk tau bahwa setiap kata itu ada artinya. Nah kalau vulgar, arti vulgar itu apa? Sensual itu apa? Seksi itu apa? Jadi, kalau aku dibilang vulgar, sebenarnya aku dituding sekali. Karena apakah vulgar itu, sesuatu yang hubungannya dengan ikat pinggang ke bawah. Atau, apakah itu kalau misalnya lihat orang pake short, celana pendek, Bermuda, itu vulgar? Apa pake baju renang itu vulgar? Apa telanjang itu vulgar? Masalahnya di Indonesia tuh, nggak ada akses untuk melihat sesuatu yang bisa kita bandingkan. Jadi, karena dari dulu dibilang ini dilarang, jadi kalau lihat perempuan yang agak terbuka sedikit, bilangnya langsung vulgar. Itu kan jorok? Masa sih, aku dibilang jorok. Maksudnya apa? Jangan sampai wartawan-wartawan Indonesia membina kesalahpahaman ini.

Di lagu “Undress Me”, Anda minta diingatkan kalau tidak jadi diri Anda sendiri. Dalam kehidupan nyata, seberapa sering itu terjadi?
Setiap aku bikin lagu, itu bukan melulu otobiografi. Undress me itu sebenarnya hanya metamorfosis. Kalau cuma dilihat kalimat undress me, sudah jelas itu telanjangi saya. Tapi kalau kita lihat kalimat sebelumnya. ‘when I wear my bad moods to my mouth, you should undress me.’ Jadi, itu bukan baju yang dicopot. Jadi, kata-kata jelekku, kejahatanku kalau aku bicara. Bad mood lah. Makanya, jangan melulu ngambil satu kalimat, karena ini pasti salah kaprah. Dan ini pasti membina kesalahkaprahan.

Maksudnya, dalam kehidupan nyata, seberapa sering Anda bad mood?
Namanya juga perempuan. Setidaknya, seminggu sekali kami boleh bad mood. [tertawa]. Kan hormonal.

Di salah satu situs, saya baca Anda bilang, “Love is when you wake up in the morning and have a big smile.” Kenapa Anda bisa berkata seperti itu?
Itu buat aku memang benar. Cuma, sekarang cinta itu tidak melulu kebahagiaan. Kadang-kadang cinta bertepuk sebelah tangan. Jadi, kebahagiaan itu sangat relatif. Apakah kita bisa bahagia melihat dia bahagia? Jadi buat aku, sekarang, sebenarnya arti kata itu, kalau kita bangun dan tidur, kan ada hari yang berjalan. Apa yang terjadi di situ.

Apa bedanya bekerja dengan musisi indonesia dibandingkan musisi luar?
Bedanya kalau musisi luar sangat menghargai waktu. Lebih apa ya, pokoknya kalau jam karet itu kan, Indonesia banget. Sangat disiplin, sangat menghargai waktu. Sangat menghargai orang. Menghargai waktu tuh, ya ampun mas, kalau di Indonesia, menunggu itu sudah jadi sesuatu yang cultural. Makanya, kalau aku datang ke Indonesia, setiap kali aku menunggu wartawan, atau nunggu apapun. Kesannya tuh aku tidak dihargai. Kalau aku datang ke Indonesia, kan waktunya sempit sekali. Ini sudah sempit, mereka telat.

Intinya, soal disiplin waktu?
Aku cuma bisa bilang tentang musisi aku ya. Mereka nggak punya ego. Kebanyakan musisi di sini, kalau dipilih jadi musisi untuk artis, egonya itu ya artisnya itu. Musisi aku, setiap aku ke panggung, mereka nanya aku, boleh nggak pakai baju ini. Nah aku kan provide mereka dengan wardrobe. Aku inginnya mereka pakai hitam semua. Pokoknya aku kasih dresscode. Jadi segala sesuatunya minta ijin aku. Dulu, tahun ’90-an waktu aku kerja dengan musisi Indonesia, waktu itu mereka ka nasal-asalan saja.

Selain musiknya, apa sebenarnya yang membedakan Anggun sekarang dengan Anggun era ’90-an?
Ya bedanya dari semua sisi. Penampilan, musik, semua hal. Beda tuh pasti. Untungnya berbeda. Coba kalau sama. Itu kan justru saya malah yang khawatir.

Skala satu sampai sepuluh, berapa Anda menilai perkembangan karir Anda sekarang?
Aku sama sekali tidak mengukur begitu. Aku sama sekali bukan ibu guru. Nggak mau ngasih angka. Segala sesuatunya ada logikanya, ada prosesnya. Kalau kita ngasih angka, kesannya tuh kita nggak menghargai proses hidup, atau proses kehidupan seseorang.

Lantas, definisi sukses menurut Anda?
Sukses itu kalau kita bisa berhasil tanpa harus menjual diri dengan kemusikan saya. Jadi, nggak bikin kompromi yang akan saya sesalkan.

Bagaimana Anda melihat sosok Anda ketika memakai baret dan sepatu boots?
Ya sekarang lucu aja. Soalnya namanya juga proses. Itu kan awal ’90. Ya orang-orang dulu pakai bajunya seperti itu. Mungkin tidak berbaret ya, tapi rambutnya dulu ya aku pakai permanent. Ke sekolah ya begitu semua. Jadi nggak aneh.

Tahu tidak? Video klip “Tua Tua Keladi” masih diputar di salah satu tempat karaoke di Jakarta.
Justru waktu aku kemarin konser, aku bilang sama mas Jay, aku ingin daripada punya opening act, aku ingin opening act-nya lagu-lagu lamaku. Supaya orang-orang lihat aku tuh begini. Sekarang begini. Mereka jadi lihat proses perubahan atau metamorfosis seorang Anggun.

Kemarin sempat tinggal di Kanada ya. Apa bedanya tinggal di Kanada dengan Paris?
Sebenarnya aku bisa tinggal di mana saja. Cuma di Paris lebih praktis saja. Karena pekerjaan aku kan terpusat di sini.

Apa sih yang Anda rindukan dari Indonesia?
Aku rindu keluargaku, temen-temenku, sama suasana hidup di sana yang serba mudah.

Memang apa bedanya dibandingkan dengan tempat tinggal Anda sekarang?
Di sini, segala sesuatunya serba Euro. Mahal dong. Dan serba ini, segala sesuatunya lebih rumit orang-orangnya. Kadang-kadang harus bersilat lidah. Supaya mendapatkan sesuatu. Jadi kesannya, kita lebih akal-akalan. Di Indonesia kan segala sesuatunya gampang. Punya anak gampang. Kalau misalnya kerja, ada babysitter, ada orangtua. Di sini kan nggak. Mahal. Belum tentu dapat babysitter yang baik.

Lantas, bagaimana Anda memandang indonesia sekarang?
Yang aku lihat dari sini, Indonesia sedang banyak sialnya. Dari alamnya. Kemarin di Jogja, kemarin tsunami. Cuma sayangnya yang tadinya aku pikir kan, Indonesia itu sedang jatuh. Malah aku pikir, kita harus bangun. Eh aku malah dengar, yang tsunami kemarin masih banyak yang korupsi. Ya ampun, itu uang untuk korban malah dikorupsi. Aku jadi, sayangnya Negara kita tuh sebenarnya Negara yang kaya. Cuma kita tuh nggak bisa ngelolanya. Terlalu banyak orang yang punya mentalitas sangat feodal. Bertahun-tahun dijajah Belanda, sekarang dijajah bangsa sendiri.

Di salah satu tv, Anda bilang tidak mau lagi tinggal di sini. Waktu itu, karena RUU APP akan disahkan. Lantas, alasan utamanya karena karir, atau memang Indonesia sudah tidak nyaman lagi buat Anda?
Aku tidak pernah bilang, tidak mau lagi tinggal di Indonesia. Aku harus lihat dulu, bagaimana sisi ekonomisnya. Bagaimana sisi politiknya. Apakah Negara ini bisa bertoleransi. Kalau masih ada seperti Undang-Undang yang membuat kehidupan artis jadi lebih sempit, aku nggak mau. Kita jadi tidak bebas berkarya, bebas berpikir. Mana mau aku tinggal di Negara seperti itu. Sama saja seperti aku tidak ingin tinggal di Negara yang masih memberi hukuman mati ke seseorang. Karena buat aku, bukan manusia yang berhak atas hidup dan kematian seseorang. Makanya aku tidak bisa tinggal di Amerika. Karena masih ada hukuman mati. Di Indonesia juga.

Prancis bisa memberikan yang Anda harapkan?
Di Prancis sudah tidak ada hukuman mati dari tahun ’70-an. Dan enaknya di Prancis, seseorang berhak untuk berkarya dan membuat sesuatu yang mereka suka. Aku sangat menghargai itu. Cuma sayangnya di Prancis, pajaknya besar sekali. Wuuuuh. Aku bayar pajak bisa lima puluh persen. Jadi kalau tinggal di sini, dapat uang di sini, harus bayar. Walaupun Anda warga Negara Korea atau Cina.

Seberapa penting sih kewarganegaraan buat Anda?
Yang aku nggak sukanya dengan pertanyaan seperti ini, kesannya banyak orang nggak tahu. Padahal aku sudah ke kanan kiri menjelaskan kenapa aku pindah kewarganegaraan. Aku ganti warga Negara karena aku tidak dibantu sama pemerintah Indonesia. Kesuksesanku tidak dibantu sama sekali oleh orang Indonesia. Malah banyak orang Indonesia mengritik aku. Terus, sekarang aku sukses banyak orang bilang, ‘Oh dia seperti kacang lupa kulitnya. Ganti kewarganegaraan. Padahal, sama sekali nggak ada hubungannya dengan itu. Aku tuh kadang-kadang suka menyesal memberi informasi ini, karena banyak orang menuding dan bicara yang nggak nggak. Tapi dari dulu memang sudah seperti ini. Dikritik justru sama orang dari negeri sendiri. Orang lain bilang nggak ada masalah. Tapi buat orang Indonesia ada masalah.

Ada yang mempersoalkan nasionalisme ya?
Karena kan buat kebanyakan orang Indonesia, dan kebanyakan yang ditulis tentang kewarganegaraan, aku tuh dibilang meninggalkan Indonesia, kawin dengan orang bule, terus sekarang sangat sudah tidak Indonesia lagi. Sekarang malah justru akunya meninggalkan kewarganegaraan Indonesia. Buat mereka, aku sudah nggak Indonesia lagi. Padahal, apakah warna buku sekecil itu, yang ukurannya lima belas dan sepuluh centimeter mengukur kenasionalismean seseorang? Kan nggak juga. Kalau segala sesuatu diukur karena ah yang penting dia paspornya masih Indonesia, tapi kelakuannya tuh sangat tidak pro Indonesia, ngomongnya ke-Barat-baratan, terus sangat melecehkan Negara sendiri. Apakah itu lebih penting di mata Indonesia? Apakah lebih penting orang seperti aku? Yang mencoba mengangkat nama Indonesia dari luar, tapi tidak pernah dibantu sedikit pun oleh pemerintah. Malah dibantu Pemerintah Prancis.

Bantuan seperti apa sih yang diharapkan?
Aku tuh ingin dibantu seperti misalnya dipermudah soal visa. Makanya, aku minta ke orang KBRI. Karena orang KBRI banyak fasilitas. Jadi, aku datang ke Pak Dubes, aku tanya, Pak Dubes bisa nggak aku kasih fasilitas tertentu, supaya aku dipermudah setiap kali aku promosi ke Negara-negara. Setiap Senin, aku bangun setengah tujuh pagi, ke kantor-kantor kedutaan asing. Nah itu kan setiap hari. Aku kan harus kerja. Jadi, bukan pekerjaan aku ngantri untuk visa. Malah ada di beberapa Negara yang pasporku ditolak. Aku minta sama Pak Dubes, bisa nggak aku minta fasilitas? Dia malah bilang, ‘Nggak ah nggak bisa. Wong anakku juga nggak dapat kok.’ Memangnya, anaknya Pak Dubes tuh ngapain? Mereka paling sekolah di luar. Aku kan beda.

Perlakuan Pemerintah Prancis berbeda?
Justru aku malah dapat penghargaan. Karena aku mengangkat kultur Prancis di luar. Kebalik banget. Aku setiap kali wawancara dengan wartawan luar, mengangkat nama Indonesia. Aku bela-belain kalau ada masalah. Waktu Playboy kantornya dihancurkan, mereka nanya ke aku. Langsung aku bela-belain sampai berdarah-darah. Nah yang begitu, orang-orang nggak pernah lihat. ‘Kok, kamu ganti warga Negara sih? Nah, masalahnya yang Negara Indonesia kasih ke aku apa? Kenapa selalu akunya dituntut. Aku minta bantuan sekali saja.

Anda sakit hati karena itu?
Nggak. Cuma kaget saja. Kalau aku disinggung masalah ini dengan cara kesannya tuh dilecehkan. Dulu waktu aku pertama kali datang ke Indonesia dengan album pertama, “Snow on the Sahara”. Ada wartawan yang ngomong ke aku pakai bahasa Inggris. Karena mereka pikir aku sudah lupa bahasa Indonesia. Aku merasa tersinggung, sakit hati. Mungkin banyak artis Indonesia yang ngomongnya tuh setiap kali wawancara pakai bahasa Inggris. Setiap dua kata pakai bahasa Inggris, atau mengakhiri kalimatnya dengan kata-kata bahasa Inggris. Aku nggak!

Di negeri sendiri, Anda diperlakukan seperti itu ya?
Dan aku dituding. Karena sudah tidak tinggal di Indonesia lagi. Dan karena aku sudah tidak punya paspor Indonesia. Padahal, itu sama sekali bukan kemauan aku. Jadi, ironisnya tuh begitu. Tapi nggak apa-apa sih. Karena aku sekarang tidak peduli. Aku Cuma peduli sama pendapat keluargaku, teman-temanku, orang-orang yang aku kenal. Selain itu, yang mereka nggak kenal aku, terus ngritik, aku nggak mau dengar. Buat aku, itu bukan sesuatu yang normal. Setiap kali lihat di situs-situs, yang mengritik selalu orang Indonesia. Orang Italia memuji. Orang Amerika memuji. Orang Indonesia, ya ampun, ‘Videonya jelek. Fotonya jelek. Liriknya kok begitu?’ Jadi, aku selalu dikritik sama orang Indonesia. Kan aneh.

Menurut Anda kenapa?
Nggak ngerti. Makanya, aku tuh kesannya nggak mau membikin usaha untuk mereka. Jadi salah kaprah. Kalau aku nggak ngomong, dituding juga. Kalau ngomong, dituding lagi. Jadi, sekarang aku masa bodoh. Ini karirku. Ini hidupku. Pasporku. Aku nggak minta ijin dari siapapun. Sekarang satu-satunya orang yang bisa menolong aku, ya diri aku. Aku nggak mau mendengar kritik-kritik yang nggak membangun. Itu aku masa bodohin. Ya kita balik lagi ke titik awal. Menghargai usaha. Mungkin karena di Indonesia, banyak yang system apresiasinya berbeda. Aku pernah lihat konser orang Indonesia. Banyak yang VIP-nya, sudah pulang. Aku nonton konser salah satu diva. Pak pejabat datangnya telat satu jam. Datang dengan dua belas orang. Itu kan mengganggu orang lain. Dan kita tidak tahu cara mengapresiasi sesuatu. Usaha orang. Waktu orang. Bakat orang. Di Indonesia banyak orang pintar, tapi sayangnya kita tidak pernah diajari apresiasi.

Di luar lebih bagus ya soal apresiasi?
Jangan salah ya. Nggak semua yang di luar itu lebih bagus. Cuma, karena kita bicara soal apresiasi. Jangan disamaratakan dengan hal lain. Di luar tuh, ada debat. Misalnya, Playboy dibilang jahanam. Mereka terlalu sering dibilang seperti ini. Jadi salah kaprah. Jadi percaya. Padahal yang lebih parah dari Playboy lebih banyak. Sayangnya, tidak ada tempat untuk berdebat. Kalau di sini, kalau ada satu topic yang akan mengganggu. Orang-orang tukar pikiran. Debat. Masing-masing memberi opini. Jadi semua tahu. Di Indonesia kan nggak. Ini menjatuhkan perempuan lah. Ya nggak dong. Sayang aja.

Bagaimana pendapat Anda soal banyak musisi indonesia yang bilang ingin go international?
Lah wong akunya dulu juga begitu. Yang jelas, sekarang jangan ngomong aja. Bertindak.

Apa kritik Anda untuk industri musik di Indonesia?
Aku sama sekali nggak punya kritik-kritik yang apa-apa. Aku bukan pakar musik. Yang aku lihat cuma, ya ada tempat ada market untuk semua jenis musik. Yang aku sayangkan, jangan sampai pemerintah Indonesia menghalangi musikalitas seorang artis dan juga kehidupan artis. Pokoknya, dari cara dia mengekspresikan diri. Apakah dia dalam musik, dalam kata-kata, cara dia bergaya. Soalnya sebagai seorang musisi, artis kan kesannya bebas. Seperti pelukis, seperti pemahat. Pokoknya kalau dalam bidang seni, harus dilihat dan dinilai dari mata seni.


Apakah Anda mendokumentasikan karya-karya Anda dengan baik?
Nggak juga. Sebenarnya itu sama sekali bukan pekerjaannya seorang artis. Itu bukan tugas aku.Aku sama sekali nggak begitu koleksi. Justru banyak fansku yang koleksi. Mereka kasih lihat aku, ya ampun kamu dapat ini dari mana?

Sepayah itukah pria Indonesia sehingga anda memilih pria asing?
Nggak juga. Soalnya kan kalau kita jatuh cinta, itu tidak diatur. Dulu waktu masih SMP suka ditanya, ingin pacar yang gimana? Inginnya yang tinggi, yang lucu, segala macam. Itu kan kita tidak tahu kalau kita jatuh cinta. Apakah kita bisa mendisiplinkan hati? Nggak juga kan? Dan kebetulan karena nggak ada orang Indonesia yang naksir aku.

Apa bedanya pria asing dengan pria Indonesia?
Nggak tahu. Wong dulu pacaran dengan orang Indonesia waktu SMP dan SMA. Mungkin kalau pria Indonesia itu, suka sok kuasa. Segala sesuatunya harus minta ijin ke saya. Makanya, banyak sekali pertanyaan ke aku dari wartawan Indonesia, ‘Mbak suami mendukung nggak sih kegiatan mbak?’ Ya ampuun. Kalau suamiku nggak mendukung, ya suamiku aku pecat. Dianya kerja untuk aku. Jadi, di kultur Indonesia itu, segala sesuatu harus lewat suami dulu. Dibina supaya lelaki kuasanya lebih besar daripada perempuan. Perempuan harus cantik, supaya suaminya setia. Nah, kalau suaminya gemuk, nggak merawat diri. Istrinya bisa lari dong. Makanya, di generasi aku, kami menuntut yang sama dari laki-laki. Kami juga ingin laki-laki yang sosialitasnya bagus, yang bisa masak, yang bisa jaga anak, dan juga jagoan di tempat tidur. Masa kami diminta yang sama, laki-lakinya leha-leha begitu.

Sikap seperti ini sudah ada dari dulu, atau setelah tinggal di luar?
Ini kan setelah jadi dewasa. Segala sesuatu kan proses hidup. Dari pengalaman hidup, dari contoh-contoh yang dilihat dari kiri kanan, apakah keluarga, atau teman-teman. Aku kan sempat asosial sekali. Aku sangat hidup di sekelilingku, yang kawin cerai kawin cerai, mereka seperti apa hidupnya. Nah, dengan begitu aku sangat menekankan bahwa aku menuntut yang sama dari laki-laki. Dan buat aku, adil. Masa sih, kita jangan sampai lelaki menuntut keperawanan perempuan, sementara kita tidak bisa menuntut keperawanan laki-laki. Pokoknya, jangan sampai hak kemunafikan itu tidak boleh hanya di lelaki saja. Perempuan juga boleh.

Ada kelompok musik/penyanyi indonesia yang menarik minat Anda sekarang?
Aku suka Peterpan. Aku suka melodinya dia. Aku suka suaranya Agnes Monica. Aku suka Candil. Ooh. Dia kan Mariah Carey-nya Indonesia. Aku nge-fans banget sama Seurieus. Mereka musikalitasnya oke. Tapi menghibur. Lucu, tapi serius. Pokoknya waktu mereka bilang, aliran musiknya Happy Metal. Emang bener sih. [tertawa]. Itu konsep musik yang oke. Aku punya album mereka semua.

Album paling berkesan buat Anda?
And Justice for All dari Metallica. Itu masa remajaku banget. Dan sampai sekarang, kalau aku mau bernostalgia, pasti dengernya itu.

No comments: